Radikalisme terorisme bukanlah agama, tetapi gerakan dan upaya sekelompok orang orang yang memanipulasi ajaran agama untuk meraih keinginan imajiner, maka melalui penerapan kearifan lokal dapat digunakan untuk menjembatani perbedaan, karena secara implementatif mampu menembus sekat sekat agama dan kelas sosial.
Hal itu disampaikan oleh Hartono, SH. MH, saat mengikuti ujian terbuka promosi doktor, yang diselenggarakan oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum Untag Semarang, baru baru ini.
Melalui penelitian disertasinya yang berjudul "Kontra Radikalisme Berbasis Kearifan Lokal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia" Hartono telah dinyatakan lulus sebagai doktor pada bidang ilmu hukum oleh Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH. MHum selaku Ketua Dewan Sidang dengan predikat sangat memuaskan, dengan nilai indeks prestasi sebesar 3,65.
Prof. Edy Lisdiyono menyampaikan bahwa kelulusan itu diambil berdasarkan musyawarah oleh para dewan penguji, dengan memperhatikan lamanya waktu studi, nilai ujian tatap muka, kualifikasi, proposal, Seminar hasil penelitian, ujian kelayakan, ujian tertutup dan terbuka.
Kelulusannya itu juga tidak lepas dari hasil bimbingan dan arahan yang diberikan oleh Prof. Dr. Pujiyono, SH. MHum, sebagai promotor, sekaligus sebagai penguji eksternal, dan Dr. Sigit Irianto, SH. MHum selaku co-promotor, hingga Hartono mampu mempertahankan hasil penelitiannya dihadapan para dewan penguji, yang terdiri dari Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH. MHum yang juga selaku Ketua Dewan Sidang, dan Prof. Dr. Sarsintorini Putra, SH. MH yang juga sebagai Sekertaris Dewan Sidang, Dr. Mashari, SH. MHum dan Dr. Chrismiyarsi, SH. MHum.
Dihadapan para dewan penguji itu Hartono menyampaikan bahwa pencegahan tindak pidana terorisme melalui kontra radikalisme berbasis kearifan lokal diperlukan suatu gerakan atau aksi nasional untuk menumbuhkan kembali kesadaran kolektif mengenai pentingnya kembali kepada identitas lokal.
Hal itu bisa dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada masyarakat luas, bahwa menerapkan kearifan lokal di dalam kehidupan sosial berarti menanggulangi radikalisme dan terorisme secara alamiah.
Selanjutnya perlu dibentuk lembaga khusus, yang memiliki struktur hingga ke tingkat bawah, bertugas membantu masyarakat untuk merevitalisasi dan internalisasi kearifan lokal yang berupa lembaga independen, bisa berupa Badan Pembinaan Kearifan Lokal (BPKL), atau pembentukan divisi baru oleh Polri seperti Bhabinkal (Bhayangkara Pembina Kearifan Lokal), mengingat inatitusi Polri memiliki struktur hingga ketingkat bawah.
Disamping itu juga diperlukan regulasi nasional yang secara eksplisit memberi perintah kepada pemerintah daerah agar mengeluarkan Perda untuk merevitalisasi, menginternalisasi dan mereaktualisasi kearifan lokal di daerahnya masing masing, guna mengembalikan nilai nilai lokal pada porsinya yang mapan, sehingga dalam rentang waktu tertentu juga mampu berfungsi sebagai sarana kontra radikalisme berbasis kearifan lokal yang efektif.