Permasalahan kesehatan yang sering dihadapi oleh pasangan suami istri adalah masalah ketidaksuburan yang menyebabkan kehamilan sulit terjadi. Dalam dunia kedokteran, penanganan ketidaksuburan dilakukan dengan berbagai cara yang salah satunya adalah pelayanan teknologi reproduksi berbantu (bayi tabung). Namun di Indonesia pelayanan teknologi reproduksi berbantu dalam upaya memperoleh keturunan belum memadai.
Hal itu disampaikan oleh dr. Krismono Irwanto, MHkes saat mengikuti sidang ujian terbuka promosi doktor program studi hukum program doktor melalui disertasinya yang berjudul “Reformulasi Regulasi Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu yang Berkeadilan dalam Upaya Memperoleh Keturunan” yang digelar oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum Untag, di Kampus Jl. Pemuda 70 baru baru ini.
Menurut Krismono Irwanto Marsekal Pertama TNI (Purn) tersebut, masih sedikitnya rasio rumah sakit yang melayani teknologi bayi tabung, karena biaya program teknologi yang sangat mahal, sementara BPJS yang tidak menanggung masalah ketidaksuburan, serta kurangnya sistem rujukan menjadi faktor belum maksimalnya teknologi reproduksi berbantu (bayi tabung) di Indonesia.
Menurutnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi kesehatan sering tidak diimbangi oleh kecepatan hukum yang mengatur pelaksanaannya. Untuk itu, diperlukan suatu reformulasi hukum terhadap pelayanan teknologi reproduksi berbantu yaitu pada UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, dan Peraturan Kemenkes No. 43 tahun 2015. Ketiga peraturan tersebut menurutnya belum ideal dan belum berkeadilan dalam upaya mensejahterakan kesehatan masyarakat.
Dengan melakukan berbagai macam studi dan menganut berbagai teori, dr. Krismono Irwanto yang pernah menempuh magister di Universitas Mainz Koblenz Jerman itu memberikan reformulasi regulasi pelayanan teknologi reproduksi berbantu dengan mengubah dan/atau menambah frasa-frasa yang tertuang pada Undang-undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Kemenkes. Hal itu dilakukan agar pasangan suami istri yang mengalami ketidaksuburan dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai dan berkeadilan.
Dihadapan para dewan penguji dr. Krismono telah menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah Indonesia. Dia juga mengusulkan agar negara segera memaksimalkan pelayanan bayi tabung dengan meningkatkan sumber daya manusia khususnya tenaga medis yang berkompeten. Disamping itu, juga diusulkan untuk segera mereformulasikan ketentuan pelayanan bayi tabung agar tidak terjadi ketimpangan pada pelaksanaannya dan dapat memenuhi hak reproduksi bagi pasangan suami istri yang tidak subur serta memberi saran untuk merumuskan regulasi yang mengatur mengenai pemenuhan hak pelayanan bayi tabung yang sesuai denan kemajuan zaman.
Adapun para dewan penguji yang dimaksud adalah Prof. Dr. Drs. Suparno, M.Si, Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH., M.Hum, Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum (penguji eksternal), Prof. Dr. Anies, M.Kes., PKK (penguji eksternal), Prof. Dr. Sarsintorini Putra, S.H., M.H (promotor), Dr. dr. MC. Inge Hartini, M.Kes (ko-promotor), dan Dr. Anggraeni Endah K, S.H., M.Hum
Dari hasil perundingan yang dilakukan oleh para dewan penguji, maka oleh Ketua sidang Prof. Edy Lisdiyono telah disampaikan bahwa dr. Krismono yang sudah pengalaman di dunia kesehatan, yang mengawali karirnya di Rumah Sakit Lanud Manuhua, Biak, Papua tahun 1990, serta juga pernah menjabat sebagai Kepala Aero Klinik Lakespra Saryanto Jakarta tahun 2012 dan di tahun 2018 menjabat sebagai Kepala Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa dr. Saryanto Jakarta, telah dinyatakan berhasil lulus sebagai doktor baru di Untag Semarang dengan predikat cumlaude.