Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri dalam rangka pengawasan horisontal yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 untuk memeriksa dan mengadili: tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dalam perjalanannya lembaga Pra peradilan pada Pasal 77a KUHAP dinilai kurang efektif menjamin hak asasi warga negara yang berhadapan dengan kekuasaan represif oknum aparat penegak hukum. Maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 telah membentuk norma hukum baru memperluas wewenang Pra peradilan, yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 77a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Hal itu disampaikan Arista Candra Irawati, SH. MH. Adv. pada saat mengikuti forum ujian terbuka promosi doktor yang digelar oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum Untag Semarang, belum lama ini.
Pada ujian terbuka tersebut telah dihadiri oleh para dewan penguji, yakni Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH. MHum, yang juga sebagai Ketua Sidang, dan Prof. Dr. Sarsintorini Putra, SH. MH, merangkap sebagai Sekertaris Sidang, kemudian Dr. Krismiyarsi, SH. MHum, dan Dr. Mashari, SH. MHum. Adapun penguji eksternal yaitu Prof. Dr. Suparji Ahmad, SH. MH.
Didepan para dewan penguji, Arista telah menyampaikan hasil penelitian disertasinya yang berjudul "Perluasan Kewenangan Pra Peradilan Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi", yang dibimbing oleh Promotor Prof. Dr. Retno Mawarini Sukmaringsih, SH. MHum dan Ko Promotor Dr. Bambang Joyo Supeno, SH. MHum.
Melalui bimbingan yang intens tersebut, akhirnya dapat menghantarkan Anisa meraih gelar doktor di PSHPD Untag yang ke 46, dengan indeks prestasi sebesar 3,92 dengan predikat cumlaude yang ditempuh selama masa studi 3 tahun, 3 bulan, 29 hari.
Dari hasil analisisnya Arista menyampaikan bahwa pelaksanaan kewenangan Pra peradilan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 belum berkepastian hukum, karena wewenang Pra peradilan terbatas, hakim memeriksa, mengadili terpaku pemeriksaan formil. Tidak semua hakim menggali menemukan nilai nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, diskresi Penyidik luas tidak ada ruang uji pengawasan.
Selanjutnya Arista juga menyampaikan, kewenangan Pra peradilan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pasca putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, bahwa wewenang Pra peradilan diperluas lebih optimal dalam perlindungan HAM. Perluasan terhadap hakim Pra peradilan dalam mengadili, sehingga Penyidik semakin berhati hati dalam hal tindakan upaya paksa, karena masyarakat dapat mengajukan hak yang meliputi penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Dimana pada pasca putusan MK berlaku dua ketentuan hukum, yaitu KUHAP dan MK.
Menurut Arista, dengan melalui perluasan wewenang Pra peradilan dapat tercapai kepastian hukum, khususnya perluasan penetapan tersangka yang telah terjadi melalui penemuan hukum putusan perkara No. 04/Pid.Prap/2015/PN. Jkt Sel berdasarlan Pasal 95 ayat (1), (2) KUHAP.
Penetapan tersangka memenuhi bukti permulaan yang cukup kuantitas dan kualitas.
Adapun tindak lanjut putusan MK diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan, yang telah mengalami perubahan terakhir kalinya UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan kewenangan kepada Legeslatif dan atau Ekaekutif segera menjalankan revisi perubahan Pasal 77a, Pasal 95 ayat(1), (2), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Penjelasan Pasal 6 ayat (1), Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan merevisi Peraturan Pelaksana KUHAP berdasar asas unifikasi, kodifilasi dalam pembaharuan hukum pidana formil.