H. Sukawi Sutarip, SH, SE, MH. MM., melalui disertasinya yang berjudul, “Rekonstruksi Pengaturan Eksekusi Hak Tanggungan Di Indonesia Berlandaskan Asas Keadilan”, telah berhasil meraih gelar doktor di Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang setelah mengikuti ujian terbuka promosi doktor yang digelar oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Untag Semarang, belum lama ini.
Mantan walikota Semarang dua periode ini, disertasinya telah dibimbing oleh Prof. Dr. Liliana Tedjosaputro, S.H., M.H., M.M (promotor) dan Dr. Yulies Tiena Masriani, S.H., M.Hum., M.Kn (co-promotor), telah
berhasil menyelesaikan studinya selama 2 tahun, 5 bulan, 6 hari telah meraih predikat cumlaude dengan IPK 3.96.
Adapun para penguji pada sidang ujian promosi doktor dilakukan oleh Prof. Dr. Edy Lisdiyono, S.H. M.Hum, selaku Ketua Dewan Sidang, dan sekretaris sidang, Prof. Dr. Sarsintorini Putra, S.H., M.H. Selain itu, penguji lain yang hadir adalah Dr. Sri Mulyani, S.H., M.Hum., Dr. Markus Suryo Utomo, S.H., M.Hum., serta Prof. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M.Hum., selaku penguji eksternal dari Unisula.
Dalam disertasinya, Sukawi mengungkapkan, bahwa pengaturan eksekusi hak tanggungan sebagai jaminan kredit untuk kepentingan kreditur masih belum berlandaskan keadilan.
Masalahnya muatan materi dalam Undang Undang Hak Tanggungan (UUHT) masih mengandung inkonsistensi yang saling tumpang tindih antara doktrin parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta (titel eksekutorial).
Dalam ulasannya, sukawi menyampaikan bahwa pada UUHT, kreditur diberikan kemudahan dan keistimewaan serta kepastian hukum disaat melaksanakan eksekusi obyek hak tanggungan, yang dalam Pasal 6 UUHT dinyatakan apabila Debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
Selanjutnya dalam Pasal 20 UUHT dipertegas, apabila Debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama berhak menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum menurut tata cara yang berlaku untuk pelunasan piutang dengan hak mendahului daripada kreditur kreditur lainnya. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dimungkinkan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Dengan demikian ketentuan Pasal 20 UUHT menunjukan bahwa pembentuk undang undang bermaksud memberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan melalui cara pelaksanaan eksekusi yang mudah dan pasti.
Namun dalam praktiknya eksekusi hak tanggungan berdasarkan UUHT tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan oleh Bank selaku kreditur. Hal ini disebabkan karena adanya Putusan MARI No. 3210 K/Pdt/1984 yang salah satu ratio decidendi putusan adalah bahwa jika pelaksanaan lelang dilaksanakan sendiri oleh kepala kantor lelang negara Bandung atas perintah tergugat 1 (Bank Kreditur) dan tidak atas perintah ketua pengadilan negeri Bandung, maka menurut MARI lelang umum tersebut bertentangan dengan Pasal 224 HIR, sehingga pelelangan tersebut dianggap tidak sah.
Dengan demikian parate eksekusi obyek hak tanggungan masih mengalami perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, disatu sisi dilakukan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan flat dari Ketua Pengadilan Negeri, namun disisi lain harus mendapatlan flat dari Ketua Pengadilan Negeri.
Fakta ini dapat dipahami karena belum adanya peraturan perundang undangan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan eksekusi hak tanggungan.
Untuk itu, agar pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dapat memberikan kepastian hukum dan berlandaskan azas keadilan tentang peningkatan jaminan dengan tanah, maka dalam disertasinya telah dilakukan rekonstruksi pasal Pasal 6, 11, 14 dan 26 UUHT karena eksekusi hak tanggungan belum ada peraturan pelaksanaannya, dan menghimbau kepada Pemerintah agar segera membuat Peraturan Pemerintah.