Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh Pengusaha Kena Pajak belum berkeadilan dan banyak menimbulkan tindak pidana. Fakta tersebut disebabkan karena rumitnya mekanisme pemungutan PPN saat ini. Hal itu disampaikan Pho Seng Ka, SE, AK, SH, MSi, CA, CPA, CPMA. saat mengikuti ujian terbuka promosi doktor yang digelar Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Untag Semarang, belum lama ini.
Melalui disertasinya yang berjudul “Membangun Model Pengaturan Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang Efektif dan Efisien Serta Berkeadilan” yang dibimbing oleh Prof. Dr. Liliana Tedjosaputro, S.H., M.H., M.M. (promotor) dan Dr. Budi Ispriyarso, S.H., M.H. (co-promotor). telah berhasil meraih gelar doktor dengan ipk 3,88 (predikat sangat memuaskan).
Adapun para dewan yang menguji terdiri dari Prof. Dr. Edy Lisdiyono, S.H., M.Hum. yang juga bertindak sebagai ketua sidang, Prof. Dr. Sarsintorini Putra, S.H., M.H. sekaligus bertindak sebagai sekretaris sidang. Sedangkan penguji yang lain yaitu Dr. Agus Wibowo, S.H., M.Si., Dr. Moch. Riyanto, S.H., M.Si., dan penguji eksternal dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yaitu Prof. Dr. Lego Karjoko, S.H., M.H.
Dalam disertasinya, Pho Seng Ka mengungkapkan bahwa
regulasi saat ini yang diwajibkan melaksanakan pemungutan PPN adalah Pelaku Usaha yang pendapatan kotor setahun tidak melebihi Rp. 4.800.000.000, sedangkan Pelaku Usaha dengan pendapatan kotor setahun melebihi Rp. 4.800.000.000 diwajibkan mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan status PKP dan melaksanakan kewajiban memungut PPN dari setiap rupiah penyerahan barang dan jasa.
Model mekanisme pemungutan PPN dengan invoice-credit method ini membawa dampak ketidakadilan bagi Pelaku Usaha status PKP karena harus atau “dipaksa” bertransaksi dengan sesama Pelaku Usaha Status PKP supaya dapat memperoleh Faktur Pajak (Masukan) untuk dikreditkan dari Pajak Keluarannya dan disetorkan ke Kas Negara.
Lebih lanjut Pho Seng Ka menjelaskan bahwa ketidakadilan terjadi apabila Pelaku Usaha Status PKP menjalin hubungan bisnis dengan Pelaku Usaha Status Non PKP yang tidak dapat menerbitkan Faktur Pajak sehingga beban PPN atas Faktur Pajak Keluaran ditanggung sepenuhnya oleh Pelaku Usaha Status PKP.
Menurutnya, ketidakadilan tersebut menghambat pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) karena ketika usahanya berkembang pesat dengan pendapatan kotor setahun akan mencapai Rp. 4.800.000.000 terpaksa harus berpikir ulang apakah pertumbuhan usahanya akan ditingkatkan melewati batas RP. 4.800.000.000 setahun atau dikelola agar tidak tembus angka itu.
Untuk itu, Pria kelahiran Semarang ini merekomendasikan kepada Pemerintah perlu mengganti UU PPN dan PPn BM yang semula model pengaturan mekanisme pemungutan PPN dengan invoice-credite method diganti dengan model pengaturan mekanisme pemungutan PPN yang lebih efektif dan efisien serta berkeadilan berdasarkan novelty seperti Metode Laba Kotor (VAT with GPM Method).
Selain itu, untuk meminimalisir penyimpangan laporan pendapatan yang tidak sesuai dengan transaksi sebenranya, maka perlu didukung dengan aturan perbankan yang membedakan antara rekening tabungan dan rekening bisnis.
Bagi Pelaku Usaha juga hendaknya dapat mendorong Pemerintah dan DPR untuk terus mengupdate ketentuan mengenai peraturan perpajakan khususnya PPN agar menjadi lebih sederhana dalam hal mekanisme pemungutannya. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan berbagai seminar dan diskusi yang membedah peraturan PPN.