Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah pemilihan, hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif sangat penting. Eksekutif bertanggung jawab untuk merumuskan dan melaksanakan program pembangunan, sedangkan legislatif berperan menetapkan kebijakan dan mengawasi pelaksanaan program.
Kendati demikian, hubungan keduanya dinilai masih kurang harmonis dan belum berbasis pada masyarakat. Untuk itu, menurut Endang Srikarti Handayani, SH. MHum perlu dibangun hubungan yang harmonis diantara kedua lembaga tersebut.
Pernyataan itu dilontarkan oleh Endang Srikarti Handayani, saat mengikuti ujian terbuka promosi doktor yang diselenggarakan oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Untag Semarang, belum lama ini.
Melalui penelitian disertasinya yang berjudul “Membangun Pola Hubungan Legislatif Dengan Eksekutif Dalam Program Pembagunan Daerah Pemilihan Berbasis Masyarakat”, Endang Srikarti berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum di Untag Semarang dengan Raihan IPK 3.80.
Disertasinya tersebut telah dibimbing oleh Prof. Dr. Retno Mawarni, S.H., M.H. (promotor) dan Dr. Mashari, S.H., M.Hum. (co-promotor) yang keduanya juga bertindak sebagai penguji.
Adapun penguji yang lain adalah Prof. Dr. Edy Lisdiyono, S.H., M.Hum. (ketua sidang), Prof. Dr. Sarsintorini Putr, S.H., M.H. (sekretaris sidang), Dr. Johan Isharyanto, S.H., M.H., Dr. Suroto, S.H., M.Hum., Dr. Sri Mulyani, S.H., M.Hum., serta penguji eksternal Prof. Dr. Ahmad Sudiro, S.H., M.H., MKn., MM. dari Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara.
Menurut Endang Srikarti, bahwa UU MD3 sebagai dasar bagi legislatif untuk memperjuangkan program pembangunan di Daerah Pemilihan (Dapil). Hal inilah yang menjadi acuan DPR untuk mengusulkan diadakannya Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP) sebesar 20 milyar tiap anggota untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan pemerataan pembangunan, tuturnya.
Namun demikian, kata Endang lebih lanjut bahwa dana P2DP telah menjadi isu hangat yang sering kali diperbincangkan publik, yaitu terletak pada kewenangan DPR memperoleh dana aspirasi yang dianggap tidak sejalan dengan fungsi anggaran (hak budget) DPR.
Besarnya anggaran yang dikeluarkan dianggap menyalahi tujuan dan fungsi DPR. Hal tersebut menimbulkan keraguan bagi masyarakat terhadap DPR selaku perpanjangan tangan antara rakyat dengan pemerintah.
Hal ini telah memunculkan permasalahan, yang dikarenakan hubungan legislatif dan eksekutif dalam P2DP belum berjalan efektif karena dipengaruhi beberapa faktor. Salah satu faktor internalnya adalah potensial memperluas ketimpangan pembangunan tidak sejalan dengan rencana pembangunan nasional yang menempatkan persoalan ketimpangan pembangunan sehingga mengacaukan sistem anggaran.
Dalam sarannya, Endang menyampaikan sebaiknya pemerintah dalam mengalokasikan dana aspirasi untuk anggota DPR sesuai dengan janji yang disuarakan saat kampanye, yaitu dana aspirasi bagi anggota DPR dalam percepatan pembangunan daerah pemilihan berbasis masyarakat.
Selain itu, agar dana aspirasi bagi anggota DPR sebaiknya diakomodasi melalui Anggaran Pemerintah Daerah atau Kementerian / Lembaga tanpa menambah anggaran baru. Penggunaan dana aspirasi juga hendaknya diperjuangkan DPR agar tepat sasaran. ungkap Endang.