Melihat fenomena saat ini, bahwa wawasan kebangsaan telah mengalami kemunduran dan kehilangan semangatnya. Untuk itu pemahaman wawasan kebangsaan menjadi sangat penting dan harus dipahami bagi setiap orang, khususnya para generasi milenial, sebagai bentuk rasa cinta kepada tanah airnya.
Hal itu disampaikan Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, SH. MS. saat mengawali kuliah pakar di Untag, yang dipandu oleh Dr. Hadi Karyono, SH. MHum, yang diselenggarakan oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum Untag, di kampus Jl. Pemuda 70 Semarang, belum lama ini.
Hadir pada acara itu, diantaranya Ketua Pengurus YPP 17 Semarang Dr. Ir. Djatmiko Waloejono, MT, Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH. MHum, Kaprodi PSHPD Untag Prof. Dr. Sarsintorini Putra, SH. MH. dan para wakil rektor, dekanat serta dosen dan ratusan mahasiswa S1, S2 dan S3.
Acara kuliah pakar yang bertema "Wawasan Kebangsaan" telah dibuka oleh Rektor Untag Prof. Dr. Drs. Suparno, Msi. yang dalam sambutannya disampaikan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kerjasama yang dilakukan sebelumnya, antara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Untag Semarang.
Atas kesediaan Prof. Arief yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kuliah pakar tentang wawasan kebangsaan di Untag Semarang diucapkan terima kasih.
Untuk itu, Prof. Suparno berharap agar para mahasiswa untuk bersungguh sungguh mengikuti kuliah pakar ini, karena ini sangat penting bagi mahasiswa untuk memaknai keberagaman, saling menghargai dan toleransi sebagai sesama anak bangsa.
Menurutnya, jika seseorang mahasiswa tidak mempunyai wawasan kebangsaan yang baik, maka dia akan menjadi mahasiswa yang apatis dan tidak mampu membawa diri untuk beradaptasi dan bersaing di era globalisasi yang kian pesat ini. Untuk itu dia mendorong agar mahasiswa bisa menggunakan kesempatan tersebut untuk bisa mendapat pengalaman dan ilmu dari Prof. Arief.
Dalam paparannya, Prof. Arief juga menerangkan gambaran peradaban manusia. Dari peradaban yang sangat sederhana disebut dengan hunting society beralih pada agrarian society.
Kemudian terjadinya revolusi industri dengan ditemukan mesin uap, listrik dan lainnya.
Bertahun-tahun kemudian menuju pada information society dengan ditemukan komputer dan sebagainya, hingga peradaban saat ini yang disebut era 5.0 atau super smart society yang mengalami perkembangan sungguh luar biasa.
“Seperti dilakukan MK sekarang yang tengah mengembangkan teknologi digital. Tapi apakah semua bidang kehidupan akan digantikan dengan teknologi digital? Semuanya harus tetap berbasis pada human being,” jelas Arief.
Sisi negatif teknologi, lanjut Arief, banyak yang tidak bertanggung jawab melalui penggunaan media komunikasi ataupun media sosial lainnya. Muncul suatu era yang disebut post-truth. Sesuatu yang tidak benar, namun diulang-ulang di media sosial, maka itu akan menjadi kebenaran. Menurut Arief, ujaran kebencian dan narasi negatif yang bertujuan memecah belah bangsa banyak berseliweran di media sosial.
Berikutnya, Arief menerangkan konsep VUCA yang merupakan istilah di dunia militer tahun 1990-an. Konsep ini menurut Arief merupakan gambaran masyarakat pada era 5.0 seperti sekarang. VUCA adalah singkatan dari V (Volatility), U (Uncertainty), C (Complexity), A (Ambiguity).
Volatility artinya perubahan yang serba cepat. Dalam masyarakat yang dinamis, berubah secara cepat dan sulit diprediksi, tidak terukur, maka dibutuhkan visi, tujuan, niat yang baik. Uncertainty dalam VUCA dapat diartikan sebagai ketidakpastian. Era sekarang banyak ketidakpastian, sehingga dibutuhkan kehati-hatian. Sedangkan Complexity dalam VUCA bermakna kompleksitas, situasi yang rumit. Kemudian Ambiguity dalam VUCA, memiliki makna sebagai realitas yang kabur.