Perawat gigi atau sekarang ini disebut terapis gigi telah diperbolehkan membuka praktek secara mandiri, kewenangan ini ada sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) no. 20 tahun 2016, tentang ijin dan penyelenggaraan praktik terapis gigi dan mulut.
Untuk itu perawat gigi harus betul betul memahami etika dan hukum yang mengatur hal tersebut. Karena kalau tidak, akan menimbulkan resiko, adanya tuntutan hukum dari pihak lain atau pasien. Demikian disampaikan Ketua Prodi Program Doktor Ilmu Hukum Untag Prof. Dr. Sarsintorini Putra, SH, MH. saat memberikan kuliah umum didepan mahasiswa Poltekes Kemenkes Semarang yang bertajuk "Penguatan Etika dan Hukum Perawat Gigi dan Mulut Dalam Menghadapi Dunia Kerja", baru baru ini.
Guru besar Fakultas Hukum Untag tersebut dalam paparannya menyampailan bahwa kewenangan perawat gigi untuk melakukan pekerjaannya adalah kewenangan hukum
(rechtsbevoegheid). yaitu kewenangan yang dimiliki oleh seorang tenaga
kesehatan untuk melakukan pekerjaannya, sehingga atas dasar kewenangan, inilah perawat gigi
berhak melakukan pengobatan sesuai dengan bidang keahliannya.
Dalam hal ini perawat gigi
memiliki kewenangan yang berupa tugas pokok sebagai perawat gigi dan tugas limpah dari dokter
gigi maupun dari peraturan perundang-undangan dalam keadaan tertentu.
Dengan
demikian, perawat gigi memiliki kewenangan dalam melakukan tindakan medik atas dasar peraturan
perundang-undangan dan pelimpahan sebagian kewenangan dokter gigi.
Selanjutnya pakar hukum kesehatan Untag ini mengatakan bahwa kewenangan yang diberikan oleh perawat gigi ini harus dapat dipertanggung jawabkan terhadap resiko yang kemungkinan timbul.
Untuk itu perawat gigi harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar palayanan dan prosedur pelayanan.
Hal ini untuk menghindari adanya resiko yang timbul, yaitu tuntuan dari pihak lain dalam hal ini pasien, yang disebabkan oleh malpraktek atau penyimpangan dari pelaksanaan tugasnya serta kurangnya menghormati hak pasien.
Ketua Dewan Penasehat Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) ini juga menambahkan bahwa apabila terjadi sengketa, maka terhadap penyelesaian tuntutan tersebut dapat dilakukan secara litigasi atau non litigasi, terhadap penyelesaian secara litigasi dapat dilakukan di pengadilan, sedangkan non litigasi dapat.dilakulan melalui mediasi, negosiasi maupun arbitrase.